<$BlogRSDURL$>

Thursday, February 16, 2006

7: 30 pagi, hujan turun di kota itu
oleh : wiku baskoro
Aku tak tau mana yang harus kuceritakan lebih dulu, indahnya hujan atau lembut bibirmu, karena semua sama indahnya dan sama pahitnya. Terutama jika keduanya meninggalkan sesuatu bernama kenangan.

Dulu aku pernah bercerita padamu tentang bagaimana hujan selalu mengingatkanku padamu. Ketika aku sendiri dan hujan turun, rasanya bertemu denganmu adalah keinginan yang paling ingin terpenuhi. Dan jika memang benar kita bertemu, kita berubah menjadi hujan itu sendiri. Setiap kali kuceritakan ini kau pasti tersenyum dan merebahkan kepalamu pada pundakku. Kita menjadi begitu sempurna ketika bersama, seperti senja dan awan yang saling melengkapi.

Kini keadaannya jauh berbeda. Dulu tak begitu sulit kita bertemu, kini tidak lagi. Terutama dengan jarak yang memisahkan kita. Sebetulnya bukan kemauanku untuk pindah ke kota Bandung ini. Tetapi memang sudah menjadi keharusan. Dulu kita mudah saja bertemu di pinggir pantai Pangandaran, berpegangan tangan sambil menikmati lembutnya pasir. Sesekali bermain bersama hangatnya air laut. Kita begitu mesra.

Ah....rindu selalu saja membuat kecewa. Dan kata-kata tak bisa menyempurnakan rindu, hanya pertemuan yang bisa. Banyak cerita yang menunjukkan bahwa seseorang yang di mabuk cinta bisa berbuat apapun. Menyukai ibunya sendiri, menculik kekasihnya, menyeberangi lautan, menempuh bahaya dan banyak lagi. Tetapi kau tau bahwa aku tidak bisa berbuat seperti itu. Kita sudah cukup berumur, dan orang seperti kita akan lebih menggunakan rasio dari pada perasaan. Kau tau itu bukan. Jika tidak, mungkin kau sudah disini bersamaku, manghabiskan waktu dan bercumbu.

Kenapa kita tak bertemu saja sejak dulu kekasihku? Mengapa waktu selalu menjadi musuh kita? Bukankah cinta mengalahkan segala?
Hujan kini sudah berhenti, dan di ujung sana pelangi muncul.

“ Kita adalah pelangi, sayangku. Bertemu hanya di waktu hujan selesai.”
“ Kau adalah jingga dan aku biru”, balasku.

Suara lembut, yang selalu kuingat, sebelum bibir kita bertemu. Lalu setelah itu, kau bertanya tentang kesetiaan, seperti yang selalu dilakukan oleh setiap wanita. Kau membayangkan bagaimana pertemuan kita selanjutnya. Mungkin ini pertanda, karena wanita selalu memiliki kelebihan daripada pria. Pertanda akan perpisahan yang selalu menyertai pertemuan kita, yang sebetulnya bukan benar-benar sebuah perpisahan. Karena cinta terlarang tak mengenal perpisahan.
*
Tetapi aku tidak bisa menghalangi rindu yang selalu datang. Siapa yang mampu menghadang hujan? Ia akan selalu hadir, dengan atau tanpa kita kehendaki. Sama seperti rindu. Terkadang lama sekali ia hadir, tapi di lain waktu ia selalu hadir setiap hari, setiap malam. Persis, sama seperti rindu.

Kita bukanlah anak muda lagi, yang bercinta di kamar kost kita, dan tentu kita juga tak bisa lagi berpindah dari satu hotel ke hotel lain, hanya untuk bercinta, seperti yang sering kita lakukan dulu. Kita sudah berkeluarga manisku. Kau, begitu juga aku. Tetapi kita masih saja bertemu, bukankah cinta itu abadi? Dan keabsurdan pertemuan kita yang selalu kita inginkan, akan terus terjadi? Seperti yang pernah kuucapkan dulu, ketika kau begitu ragu untuk bertemu, walau kau juga merasakan rindu itu begitu tak tertahankan. Kau masih mencariku dan aku masih merindukannmu. Seperti remaja yang mencobai manisnya rasa perselingkuhan, dengan penuh gelora.

“ Kita tidak pernah berselingkuh manis, bukankah kita saling mencintai, dengan begitu dalam.”
“ Tapi kita punya keluarga, sayangku.”
“ Itu bukanlah masalahnya, manis. Kau jangan seperti kebanyakan orang donk. Ku kira kau sudah dewasa dan mengerti, seperti katamu. Aku tidak ingin menjelaskannya padamu. Nanti, kau juga tau sendiri.”

Dan aku tak dapat berbuat apa pun, apa lagi berkata-kata. Karena kau beitu bergelora, mengunci bibirku dengan lembut bibirmu yang begitu mempesona. Seperti sudah banyak tertulis, aku, laki-laki, menurut saja padamu, perempuanku.
*
Dan di sini. Dalam sebuah kamar dilantai 9 hotel berbintang, diatas sebuah kasur berwarna putih, yang berbalut selimut yang juga putih. Perempuan itu mengatakan lagi sebuah pertanyaan.

“ Tetapi, apakah kita benar-benar saling cinta, sayangku??”
“ Ah...........”, lelaki itu hanya mendesis.
“ Kenapa kau tak menjawab? Apakah kau tidak mencintaiku?”
“ Cinta adalah sebuah kata, manisku, hanya sebuah kata. Dan itu tak pernah berarti apa-apa. Seharusnya kau tau itu. Setidaknya ketika kau bertemu denganku. Atau dari keajaiban yang kau ilhat dalam hujan dengan pelanginya.”

Wanita itu bangkit dari tempat tidur, dan melangkah ke jendela, persis seperti sebuah adegan dalam cerpen Umar Kayam. Namun ia tidak memakai sehelai pakaian apa pun. Ia menatap keluar jendela, ke arah keramaian pusat kota ini.

“ Seperti biasa, kau selalu membuat teka-teki dalam setiap jawabanmu. Membuat aku harus selalu menatap matamu dan menatap lebih dalam untuk mengartikan isi hatimu. Dan itulah yang aku suka dari dirimu.”
“ Ah..........kau sangat tau aku mencintaimu.”
“ Cinta?????”

Wanita itu mendadak berubah, raut muka yang tadi kosong dan jiwa yang tadinya tenang, kini berubah menjadi emosi.

“ Lalu kenapa kau tak menikahiku waktu itu. Bukankah kita sudah lama pacaran, sudah sangat saling kenal. Tapi kenapa? Kau memilih dia menjadi istrimu, bukan aku.”

Lelaki itu menjawab dengan sangat tenang.

“ Rasanya, kau pasti tau jawabanku, karena kau juga menjalaninya.”
“ Menjalani apa??!!!?? Menikah, maksudmu?? Itu karena kau menikah dengan orang lain lebih dulu. Kau tak merasakannya, kesepian, kesendirian dan perasaan sangat membutuhkan teman. Kau tidak akan pernah bisa merasakannya, seperti yang aku rasakan! Atau jangan-jangan, kau lebih mencintai dia....????”
“ Sudahlah manisku, pernikahan itu tidak sama dengan cinta. Tidak sama seperti setiap pertemuan kita yang bergelora. Cinta itu venus, cinta itu kita, manis. Cinta tak perlu sebuah legitimasi apa pun, dalam bentuk lembaga apaupun. Atau kau butuh itu....kau membutuhkan sesuatu bentuk pengesahan. Tidak cukupkah ucapan, perlakuan aku yang menunjukkan seluruh cintaku ini...belum cukupkah?? Akh......kau selalu menyimpan ketidakpuasan manisku.....selalu saja ada ketidakpuasan dalam dirimu.....”

Wanita itu sudah siap untuk mengeluarkan seluruh sumpah serapahnya, namun mendadak terhenti oleh suara handphone.

“ Siapa?? Kok gak diangkat.....istrimu ya??”
“ Bukan.”
“ Lalu....”

Hening........

Lelaki itu sudah bangkit dari tempat tidur, mencuci muka, berpakaian dan membasahi rambutnya. Kemudian memakai sepatu.

“ Kok gak jawab.” Emosinya sudah reda, namun kejengkelannya belum.
“ Bukan, itu bukan suara telepon, itu suara alarm.....aku harus pulang.”
“ Ah....bohong. Lelaki selalu saja bisa mengelak dan pintar berbohong.” “ Jadi, kau tidak percaya padaku??”

Lelaki itu mendekat. Sangat dekat, wajah mereka hampir tak berjarak. Perlahan bibirnya sedikit terbuka, dia memiringkan kepalanya. Semakin mendekatkan bibirnya pada bibir wanita itu, yang juga sedikit terbuka. Kemudian wajah mereka benar-benar tak berjarak. Waktu seakan berhenti dan angin pun perlahan sekali berhembus. Cahaya matahari tak tampak menyeruak masuk, karena awan hitam bergerombol, membuat pekat langit.

“ Aku benar-benar harus pulang. Anakku ulang tahun. Dia kepingin di ajak jalan-jalan ke Dufan. Aku pergi dulu....”

Kata-katanya mengambang. Seiring dengan langkah lelaki itu menuju pintu, membukanya, menatap matanya dan menutup pintu, halilintar bergema dan hujan pun turun.

Sebetulnya, bukan kepergian lelaki itu yang membuat hatinya gundah, tetapi penantian akan kedatangan suaminya nanti siang. Ia tidak yakin suaminya akan datang. Jika ia tidak datang, berarti ini kali ketiga suaminya membatalkan acara ulang tahun perkawinan mereka yang pertama. Wanita itu menarik nafas, menghembuskannya dengan sekali hembusan. Tangannya terlipat di dadanya. Dia bersandar dekat jendela, memandang kosong keluar jendela, dan waktu menunjukkan pukul 7:30.

***

Bandung, Oktober 2005

This page is powered by Blogger. Isn't yours?