<$BlogRSDURL$>

Thursday, February 16, 2006

Bangku Taman*) 

Bangku Taman*)
oleh : wiku baskoro
Pagi berganti senja, senja beganti malam, dan malam berganti pagi. Tak ada yang berubah dari waktu. Ia terus saja bertambah, tak pernah semakin tua. Hanya bertambah saja.

Lelaki itu duduk, di sebuah bangku taman. Seperti sebuah perahu yang terdampar pada tepi pantai. Rasa kantuk mulai menyelimuti seluruh dirinya. Antara sadar dan tak sadar, bayangan akan segala kejadian melintas tak tentu arah. Senja, malam, siang, sarapan, bergegas, kerja. Saling tumpang tindih. Saling berputar.

Di taman yang sepi itu hanya bersinar sebuah lampu yang mengeluarkan cahaya kuning yang berbaur dengan gelap. Tersamar. Ia terduduk tenang, malam semakin larut. Menyembunyikan segala kisah, pesta, perampokkan, pemerkosaan, sex, pub, perempatan yang macet, tukang indomie rebus yang lenggang. Jalan layang yang sepi, lampu, gelap, orang yang terlelap, dingin. Dan sebuah bangku taman, di mana ia duduk.

Lelaki itu teringat masa kecilnya yang bahagia. Pelukan ayah dan ibunya, dalam rumah yang sederhana. Tawa riang yang begitu lepas dan beban yang tak pernah singgah di pundaknya. Masa kecil, masa dimana bahagia tanpa alasan adalah diperbolehkan, masa dimana dirinya selalu saja punya berbagai kesibukkan, apa pun itu. Dan sebuah masa dimana keinginan akan selalu terkabulkan, walau dirinya selalu saja tak mengerti bagaiana caranya **). Masa dimana dunia dan segala isinya adalah segala-galanya.

Dengan mata terpejam ia menikmati lelahnya. Lelah yang bercampur kelam malam. Dalam sebuah taman di bawah naungan langit yang tanpa awan, tanpa terang. Lelah yang bercampur dengan kehampaan yang hening, hening sehening kabut pagi yang dinanti, sebagai anugerah bernama embun. Kehampaan yang kini menjadi sebuah rutinitas, tertanam dalam malam seperti tusukkan-tusukan tak tertahan. Rutinitas yang hampa.

Lelaki itu, dalam heningnya malam masih saja terduduk di sebuah bangku taman. Tanya dalam hatinya menyeruak keluar dalam hembusan nafas. Tanya akan sebuah hari yang mungkin sedikit berubah. Hari yang mungkin takkan pernah terjadi. Lelaki itu lelah mempunyai harapan. Begitu lelah sehingga hanya harapanlah yang memenuhi seluruh kehidupannya. Harapan yang kini menjadi sebuah rutinitas, lagi-lagi rutinitas. Raut muka yang sejenak tertiup oleh angin malam yang begitu tenang, menunjukkan beberapa luka. Goresan-goresan buah kehidupan. Muka yang penuh peluh, serta penuh luka. Adalah dunia yang selalu menghadirkan kontradiksi permanen. Antara cinta dan benci, antara ragu dan harapan, antara sepi dan riuh. Antara engkau dan dia. Dan dalam dunia yang dilaluinya, lelaki itu tetap berjalan, menyusuri sungai-sungai kehidupan yang kering dan hambar. Tanpa cinta, tanpa benci. Hanya kekosongan, yang juga permanen.

Debu dan panas yang berubah menjadi peluh, kini beku dalam penantian akan cerahnya pagi. Cerah yang tak berarti lagi. Karena itu semua hanya berarti sebuah rutinitas yang kembali hampa. Hanya berarti debu dan panas yang akan menerpa mukanya. Muka yang penuh peluh dan luka. Semua takkan berubah. Bumi kan terus berputar, angin akan terus menerpa semua wajah, wajah-wajah dalam peluh dan terluka. Waktu tentu takkan pernah berhenti. Takkan pernah.

Lalu lelaki itu bertanya pada pikirannya sendiri. Lalu, setelah termenung seperti ini, apakah hidup akan berlalu ? Akan bertambah layak ? Atau sepinya terik matahari akan terus hadir, dalam iringan hiruk pikuk sunyi. Tanpa tujuan yang pasti. Kemudian hidup menjadi sangat tidak berarti. Lelaki itu hampir putus asa, lalu kemudian angin berhembus kembali, menerpa wajahnya. Tanpa sadar akan suatu maksud tertentu, ia mengangkat wajahnya. Di ujung sorot matanya, langit yang kelam bergerak. Awan-awan yang menyelimutinya bergerak-gerak. Menyingkap sebuah sosok yang tersenyum. Samar.

Lalu bulan yang nampak seperti sebuah senyuman, hadir. Lelaki itu pun tersenyum. Tiba-tiba perasaan bahagia yang tak termengerti hadir, menyelimuti semua lukanya, dalam kehangatan cinta. Adakah semua jawaban terangkum dalam cinta ? Ia kembali bertanya, sambil masih tersenyum. Lalu langit, yang kelamnya memudar, senyuman bulan yang damai dan cahaya lampu yang kuning tersamar, seperti memberi jawaban. Jiwa lelaki itu mulai mencatat, mulai membuat analisa, mulai bergerak. Seperti baru pertama kali tubuhnya dialiri oleh darah, lelaki itu merasakan gairah memenuhi seluruh tubuhnya. Semangat yang hampir terkubur, perlahan muncul. Dan jawaban mulai menuliskan sendiri, satu-satu huruf-hurufnya.

Cinta. Beribu misteri tersirat, tersurat di dalamnya. Kesunyian yang ramai, absurditas yang meyakinkan, jawaban yang damai. Misteri yang tak pernah sedikitpun terketahui. Cinta, bukankah cinta itu harapan ? Dan harapan hanya menghasilkan lelah ? Lelaki itu kembali muram. Tak ada yang berubah, ia mendesis. Hanya waktulah yang abadi. Tak berubah. Selain itu pasti berubah. Maka benci akan menjadi rindu. Sepi akan menjadi ramai dan maaf akan berbuah cinta.

Ah….maaf. Lagi-lagi misteri. Sebuah kata berujud sikap yang meluluhkan angkuh. Meleburnya menjadi permata, bernama kasih. Aku harus meminta maaf, pikirnya dalam hati. Karena maaf akan membasuh kelelahan yang penuh luka.

Sesaat lelaki itu hendak bangkit. Melepaskan diri dari bangku taman, lampu redup dan sunyi yang laknat itu. Namun bersamaan dengan cerahnya mentari di ufuk sana, lelaki itu merasakan sebuah sentuhan dibahunya. Sentuhan yang begitu mendamaikan, sentuhan yang begitu ia nantikan. Ia menoleh ke belakang. Dalam keremangan yang kian pudar, lelaki itu melihat sebuah senyuman yang ia lihat tadi, menjelang pagi. Saat langit masih pekat. Senyum yang menghapus peluh di dadanya. Ia melihat muka yang tenang dan sejuk. Sesejuk embun yang mulai hadir di taman itu. Muka yang dimiliki oleh sesosok wanita, yang begitu ia rindukan. Yang padanya maaf layak untuk diberikan. Wanita yang membawakannya cinta sejati.

Dalam lelah akan harapan, dalam peluh penuh luka, lelaki itu menangis. Kemudian, wanita itu berkata, “ aku sudah memaafkanmu. Dari dulu. Dan aku tau kau pun melakukan hal yang sama.”

Kemudian keduanya berpelukan. Erat. Dan, bangku taman itu kini tak lagi sepi. Taman itu pun tak lagi sendiri. Cahaya matahari menyingkap semua rahasia. Bunga-bunga, pohon-pohon yang rimbun, lima lampu taman yang tak lagi redup, empat bangku taman yang saling berpasangan. Dan embun. Beribu-ribu embun yang membasuh dua orang manusia, dalam cinta.
***
Oktober, 2005
*) Cerpen ini sangat terinspirasi oleh lagu dan syair Bangku Taman, yang diciptakan dan dimainkan oleh Pure Saturday. Beberapa teks dalam cerpen ini menggunakan syair-syair tersebut.
**) Paulo Coelho, The 5th Mountain

This page is powered by Blogger. Isn't yours?