<$BlogRSDURL$>

Thursday, October 26, 2006

Sebuah Jazz
A tribute to SGA
Oleh : Wiku Baskoro


Sebuah jazz, memecah kesunyian ruangan itu. Sebuah perpustakaan. Deretan buku mulai bergerak, bergoyang. Bagai terbebas dari perbudakaan tata ruang rak yang mengharuskan mereka berdiri dalam diam seribu bahasa.

Buku-buku itu mulai merasakan hawa kebebasan yang sungguh menggembirakan. Jazz membawa perlawanan, jazz membawa pembebasan. Seperti juga improvisasi yang dilantunkan lagu itu, buku-buku itu pun berimprovisasi, menari, meloncat dan bergerak bebas.

Ada buku politik disana yang membuat sebuah dansa yang menakjubkan. Ada buku sastra yang menyanyi sambil menghentakan kaki mereka. Ada buku filsafat yang mulai menjentikkan jari mereka mengikuti irama. Ada ensiklopedi yang menggoyangkan kepala mereka tak bisa berhenti. Ya! Jazz membebaskan mereka semua. Menyatukan dalam sebuah harmoni yang tidak bisa ditolak siapapun dari mereka. Tidak ada eksklusifitas dalam jazz. Ini benar-benar root jazz, bung!

Aku memperhatikan semua itu dengan tersenyum, berpikir bahwa kebebasan itu tidak dapat tergantikan oleh apapun. Bagaimanapun kebebasan itu di bendung, maka pemberontakan atas kungkungan itu akan terus terjadi. Lalu aku juga melihat bahwa perbedaan bukan hal yang seharusnya diperdebatkan. Jazz mempersatukan semua. Jazz melawan perbedaan itu, menghancurkanya dan menyatukan kembali semua. Jazz, hanya jazz.

Di luar, senja juga mulai menari, artinya hari akan segera malam. Seharusnya aku sudah pulang dari perpustakaan ini. Melakukan perjalanan menuju rumah dengan jalan yang telah aku tempuh selama lebih dari 3 tahun. Lalu melakukan kegiatan yang sama, itu-itu juga. Memasukkan motor ke garasi, melepas sepatu, mencuci kaki. Mengganti pakaian, makan malam, lalu tidur. Besok akan datang dan dilalui dengan kegiatan yang praktis hampir sama.
Hidup telah menjadi rutinitas, yang mau tidak mau harus aku jalani. Makanya kupikir, aku membutuhkan jazz. Membutuhkan sebuah momen seperti yang dilalui oleh buku-buku itu. Mereka begitu hidup, begitu bergelora.

Walaupun aku sudah berteman dengan mereka hampir 3 tahun, rasanya baru kali ini aku melihat mereka begitu bersemangat. Jazz yang membebaskan, jazz yang memberontak, jazz yang merubah segala-galanya, jazz yang membuat mereka bergerak-gerak, berjingkrak-jingkrak, menari-nari.

Lalu aku teringat sahabatku. Dia bagiku adalah seorang dengan absurditas yang murni. Seperti Camus memandang sebuah absurditas. Memang dia tidak memainkan jazz, dia memainkan musik dengan aliran lain. Dan aku tidak mengerti sama sekali musik yang dimainkannya. Ketika suatu waktu aku bertanya dengan nada ketus, musik macam apa ini, dia menjawab dengan dingin dan penuh keyakinan.

“Ini musik perlawanan, bung!”
Weh…perlawanan, hebat amat!! Pikirku.

Hanya itu penjelasannya, dan aku masih tidak mengerti. Ia sudah berkeluarga, dan dia sudan memainkan musik perlawanan itu hampir seumur hidupnya.

“Bagiku tidak ada kata menyerah bung. Perlawanan harus terus dilakukan. Walaupun kita tak pernah menang!” Begitu jawabnya lain waktu.

Aduh! Aku benar-benar belum bisa menerima absurditas seperti itu. Aku terlalu terlanjur masuk dalam dunia rutinitas yang hampa, yang kosong. Bagiku perlawan itu berarti, kehilangan banyak waktu dan sia-sia.

Begitulah keyakinanku sebelum aku tiba pada sore ini, menyetel jazz keras-keras dan memperhatikan ribuan buku menari-nari, membebaskan diri dari kungkungan yang sebetulnya telah menjadi bagian dari hidup mereka.

Aku seperti tersentak dan tersadar, bahwa hidup ini memang perlu selalu dirubah, tidak stagnan dan statis. Kedinamisan yang dulu menjadi sebuah makna yang bisu sebisu-bisunya, kini menjadi lampu yang terang-benderang.

Aku masih memperhatikan buku-buku itu yang terus bergerak menikmati alunan jazz yang begitu menggelora, mengugah, dan tentunya mempesona.

Seandainya kau ada di sini kekasihku yang manis, pasti kamu akan setuju sekali dengan pendapatku. Bagaimana tidak. Cobalah ceritakan padaku bagaimana rasanya terbebaskan dari semua rutinitas yang sudah membelenggu selama hampir selama-lamanya. Well…tidak terbayangkan bukan. Tenanglah manisku, aku tentu masih dan selalu mencintaimu. Apapun yang aku rasakan saat ini, tentu tidak akan merubah rutinitas cinta kita, itu pengecualian.

Kali ini lagu jazz sendu yang mengalun, aku jadi semakin ingat kamu. Ingat senyummu, ingat tatapanmu, dan ingat tingkahmu yang selalu saja membuat rindu. Lihat manisku, buku-buku itu pun merubah hentakan tari mereka menjadi dansa yang paling romantis yang pernah aku lihat. Oh…betapa kehadiranmu adalah yang paling kuinginkan saat ini. Tapi apa daya, kemajuan teknologi yang sehebat apapun tentu tak dapat membuat kamu berpindah dalam sekejap dari tempat nun jauh di sana menuju tampatku ini. Entah, mungkin 20 tahun lagi itu baru mungkin.
“Mainkan lagu Miles Davis!” Teriak salah satu buku di ujung sana.

“Jangan! Mainkan saja Louis Armstrong.”
Wah musisi hebat semua itu, aku terheran-heran.
”Charlie Parker saja!”
Aku jadi tidak sabar, “Duke Ellington…ya, Duke Ellington, itu yang akan kuputar!”

Lalu radio kumatikan, kumasukkan keping cd berisi 13 lagu Duke Ellington. Dan bermainlah ia, maestro jazz dengan pianonya yang berubah menjadi benda paling ajaib di dunia. Mengalunlah lagu kebebasan, mengalunlah jiwa yang tercerahkan. Dan kami pun berdansa semua. Merayakan kebebasan yang sudah sangat langka ini. Entahlah, mungkin besok aku masih kembali masuk dalam rutinitas yang itu-itu lagi, mungkin juga nanti setelah keluar dari perpustakaan ini aku akan kembali menjadi manusia “kota” yang sudah banyak kehilangan rasa. Entahlah, yang pasti jazz seperti ini sangat sayang jika tidak dinikmati.

Dan maaf kekasihku yang sangat manis, ini bukanlah jazz café atau jazz klab malam mewah. Ini hanyalah musik jazz kampungan yang hadir dari kota-kota kumuh kulit hitam. Yang menemani kehidupan mereka yang kelam, kehidupan para budak ynag suram. Maaf, kali ini kita tidak bisa menikmati jazz dengan wine. Tetapi aku yakin kamu pasti mengerti, aku sangat yakin. Bukankah kita sudah sangat saling mengerti?

Dalam hitungan detik malam akan segera datang, dan bila malam datang itu ditandai dengan menyalanya berbagai billboard dengan berbagai gambar yang tentunya dibuat agar semenarik mungkin walaupun bagiku sangat tidak menarik. Lampu-lampu jalan yang otomatis akan mulai menyala, tukang nasi goreng akan mulai berjualan menyusuri jalan komplex, memukul katel sesering mungkin memanggil calon pembeli yang tak kunjung terpanggil.

Lalu jalanan akan dipadati penjaja indomie rebus dan jagung bakar. Mmmm…betapa kota sibuk sekali manisku. Dan betapa kesibukan itu begitu membuai dengan ilusi berbagai warna. Senja, kini benar-benar sudah hilang, digantikan oleh langit biru yang tampak hitam, rembulan yang cuman sepotong, dan berbagai binatang penghias malam.

Mungkin kini kamu sedang malamun kekasihku, betapa aku hafal kamu suka sekali melamun. Sambil memegang secangkir kopi panas, kamu akan duduk di sofa kesayanganmu, menatap ke ujung. Pikiranmu akan mengembara kesana-kemari. Entah apa yang kamu pikirkan. Itulah ruang paling pribadi seseorang, yang orang lain tak akan bisa menyentuhnya. Dan betapa aku menghormati ruang itu.

Justru aku mendapati keindahan yang hampir tiada tara, ketika menatapmu dengan mata yang menerawang, kaki yang terlipat, bibir yang mengelurkan hembusan lembut, dan asap kopi yang bergerak menjauhi bibirmu. Sebuah lukisan keindahan.

Mungkinkah kamu memikirkan aku. Atau tidak, ah…betapa hidup ini memang tidak bisa ditebak. Tapi apapun yan gterjadi, tenanglah kekasihku, akan kukirimkan lagu terbaik di dunia, akan kukirimkan melodi termasyur di bumi, kan kukirimkan rentetan improvisasi yang sudah pasti tidak akan membosankan. Akan kukirimkan sebuah Jazz.

Ya…seperti jazz yang sedang mengalun di ruang perpustakaan ini. Biasanya ruangan ini akan sunyi sekali pada jam-jam segini. Namun berkat jazz, sepi itu kini melayang entah kemana. Dan yang tertinggal kini adalah suara riuh buku-buku yang berdansa, yang menyanyi, bersenandung dan berjingkrak.

Ada desiran lembut yang tiba-tiba menggelora dalam diriku. Belum tau pasti ini apa. Ternyata musik itu terkadang membuat lupa. Seperti saat ini. Musik membuat lupa akan penderitaaan, akan kesunyian. Hidup yang terlalu menyita, kini terlupa, nyumput entah kemana. Dan desiran gelora itu begitu menggugah.

*

Tiba-tiba aku melonjak, lalu kubanting masa laluku. Kumainkan jemari pada tuts keyboard. Menyusun cerita ini, agar kamu tahu kekasihku yang manis, betapa rutinitas itu sangat membosankan dan betapa jazz itu begitu menyegarkan.

Bandung, Perpustakaan, 2006, pernah dimuat di majalah LAMPUKU, UNPAD

This page is powered by Blogger. Isn't yours?