<$BlogRSDURL$>

Monday, November 27, 2006

MNEMONIC
: DeA

Aji

Kata Sapardi *, gerimis itu hanya bersijingkat dengan kaki-kakinya yang kadang hilang kadang tampak. Dan ku pikir gerimis itu juga halus. Ya, memang gerimis tidak sama dengan hujan. Tetapi baru rasanya, ada orang yang membenci hujan. Toh, jika di bumi itu banjir rasanya itu bukan kehendak hujan. Ia hanya menjatuhkan bulir-bulir kesegaran dari langit yang teduh itu, ke bumi ini. Dan kamu pun pasti tau bagaimana rasanya hidup di bumi ini.

Orang memanggilmu bunga matahari, karena kamu membenci hujan. Jika kamu mau lihat lebih dekat lagi sebetulnya hujan dan matahari adalah sepasang kekasih, rasa-rasanya ini juga kata Sapardi. Nah, jika mereka adalah sepasang kekasih berarti, kamu tidak bisa mencintai matahari tanpa mencintai hujan. Itu tidak seimbang! Bukankah hidup adalah pencarian untuk sebuah keseimbangan?

Seperti aku mencintai langit, maka aku pun mencintai awan dan juga warna-warna senja. Ketika ku katakan pada bintang aku cinta dia, maka aku pun akan menyayangi bulan. Sama seperti hitam mencintai putih, kurasa kamu juga harus mencintai hujan.

Ketika ku memintamu untuk datang ke rumah ku waktu itu, kamu menjawab, “sedang hujan, aku tak mau keluar!” Tentu dengan ketus. Dan aku sudah paham, makanya tidak mau berdebat denganmu. Namun setelah kupikir, sikapmu itu tidaklah beres, aku tak mengatakan itu tak adil. Karena rasanya sangat sulit menemukan keadilan di dunia ini. Bahkan datang dan pergi pun sering saling tak adil. Ya, itu hanya sebuah sikap yang tidak beres. Lalu, kutulis saja surat ini, mudah-mudahan bisa membereskan sikapmu yang tidak beres itu. Supaya kamu juga bisa bersikap seimbang.

Jika alasan kamu membenci hujan hanya karena takut basah, maka yang harus disalahkan itu adalah kamu sendiri. Coba bayangkan kesedihan hujan yang sering disalahkan karena membuat basah manusia. Bahkan sering dicaci maki. Sebetulnya jika manusia mau mengerti, ya kalau sudah tau hujan itu air, maka harus siap dong dengan segala konsekuensinya. Termasuk kebasahan. Nah, sekarang kamu bisa pikirkan, jika hujan punya perasaan maka ia akan sedih sekali, bukan?

Pernah kamu mendengarkan hujan? Belum! Rasanya akan lebih sangat tidak beres kalau kamu membenci hujan. Jika kamu hadir dengan telinga yang mendengar, hujan itu menceritakan sebuah rahasia. Rahasia yang ia simpan untuk pucuk pohon dan dedaunan. Aku tau ini dari Agus N **. Rasanya sesuatu yang belum teruji tidak layak untuk dipercayai. Maka kucoba saja dengarkan hujan. Ternyata benar! Ia tidak mau membagi rahasianya denganku. Ia hanya membisu, tetapi ketika aku akan pergi, sayup-sayup kudengar ia bercerita pada pucuk pohon dan dedaunan. Tentunya tentang sebuah rahasia.

Hujan itu lembut, sayup. Seperti mata kamu. Hujan itu memberi kesegaran, seperti senyummu, yang dibalut bibir yang lembut itu. Dan hujan menjadi indah karena untaian butir-butirnya yang serempak menjatuhkan diri ke bumi, seperti untaian kata-katamu yang mempesona diriku. Sedangkan rambutmu yang terurai itu mengingatkan ku pada pesona jatuh lurus butir hujan. Kamu lihat kan betapa keindahanmu menyerupai keindahan hujan.

Coba kamu pikirkan lagi sikapmu ini. Jadikan saja surat ini sebagai bahan renungan atau sebuah saran, tetapi jangan dijadikan bungkus gorengan, yang sering kamu beli setiap sore itu.
Sudah segitu saja, kamu baca saja dulu. Nanti kabari aku lagi, ya!

***

Rein

Tidak!!

Hujan tidak menceritakan sebuah rahasia apa pun. Dia hanya menangis. Itu saja. Dan pucuk pohon yang katamu mendengarkan rahasia itu, dia hanya gelisah. Betul pohon itu mendengarkan, tetapi bukan sebuah rahasia. Hanya percakapan antara awan dan tetesan hujan. Percakapan tentang sebuah perpisahan yang memilukan. Itulah sebabnya aku membenci hujan. Ia hanya segumpal kesedihan yang tak tertahankan. Yang kebetulan jatuh ke bumi.

Jika kamu menyangka desah yang kamu dengar itu sebagai sebuah rahasia, maka itu adalah sebuah kekeliruan. Seperti sebuah lagu tersedih yang kamu dengarkan setiap malam, sambil memandangi langit yang bertabur bintang. Itulah kesedihan yang hujan rasakan. Terlalu sering aku mendengarkan hujan. Dan setiap kudengarkan desahnya yang lirih itu, aku menangis. Dan kemudian kami bersama-sama menangis. Mengisi hati yang luka dengan tetes-tetes air mata.

Dan aku melarikan diri dari kesedihan itu bersama matahari, bersama riak sinarnya yang terang, yang menyilaukan. Tak terdengar lagi suara-suaru tangis itu. Hanya tawa kami, aku dan matahari yang memenuhi ruang waktu. Mungkin kami sepasang kekasih atau hanya teman baik. Aku tak begitu peduli. Chemistry itu hadir setiap kami bertemu. Dan aku percaya cinta sejati itu, berawal dari sebuah chemistry. Seperti aku dan kamu. Dulu.

Matahari dan hujan pun bukanlah sepasang kekasih lagi. Mereka telah lama berpisah. Dan percakapan sedih antara awan dan hujan adalah bukti kisah cinta sejati, bukan seperti waktu dia dan matahari bersama.

Sudah sering kukatakan kepadamu, antara kita tak ada lagi tanda-tanda seperti yang kudapatkan dari matahari. Saat kita telah berlalu. Dan gambar dirimu pun sudah tak terlukis lagi dalam guratan senja. Dan kamu tahu bukan betapa aku begitu mengagumi senja lebih dari apapun. Disana terdapat tanda-tanda yang dapat meyakinkan aku akan suatu kepastian. Dan kini wajahmu telah pudar, bersama dengan berakhirnya warna kemilau jingga yang terciprat di ujung sebelah Barat sana.

Sudah sering kubisikkan padamu, sama seperti kisah perpisahan yang memilukan antara awan dan tetesan hujan. Seperti itulah. Dan kini semua terceritakan melalui hujan. Itulah kenangan terakhir diriku untukmu.

Waktu kita telah berlalu.

***

Aji

Lalu, keabadian rindu menemukan jalan buntu. Kemanakah hati harus berlabuh jika ragu selalu saja menderu bagai ombak yang terindah. Rein, ini adalah pesan terakhir yang bisa kutulis, mungkin kamu terlalu sibuk dengan pekerjaanmu sebagai marketing sebuah radio terkenal di kota B. Tetapi setidaknya demi kenangan yang pernah kita lalui, ijinkan aku untuk menuangkan segala kegalauan yang selalu mendera diri ini.

Ini adalah pesan terakhir yang mampu kutulis, bukan....bukan karena aku akan meninggalkanmu, hanya saja kelemahan diri membuat harapan semakin menjauh. Aku takkan pernah pergi Rein, takkan pernah dan kamu tau itu.

Biarlah hujan selalu menjadi mnemonic akan kehadiranmu.
***

*) Sapardi disini adalah pengarang Sapardi Djoko Damono
**) Agus N disini adalah pengarang Agus Noor

This page is powered by Blogger. Isn't yours?