<$BlogRSDURL$>

Monday, December 18, 2006

Senja Dalam Gereja
Oleh : Stefanus W.B

Di suatu senja yang hampir temaram dan mengharukan, tiba-tiba otak saya, entah yang bagian mana mengajukan sebuah pertanyaan yang menggugah sekaligus menggugat.

“Heh bos, buat apa sih situ pergi ke Gereja segala?”

Nah loh! Bener-bener pertanyaan yang menggugah, mengggugat dan tentu mengganggu sekali. Apalagi sore itu memang waktunya ke Gereja, mana hampir telat pula. Dan sudah sejak saya mengenal Gereja, saya selalu pergi ke Gereja. Dengan cara bagaimana pun ini tidak pernah ditinggalkan.

Saya bingung, benar-benar linglung. Tadinya saya berpikir untuk tidak pergi ke Gereja, karena bagaimana pun suatu pekerjaan yang tidak diyakini namun tetap dipaksakan untuk dijalani, tidak akan menyenangkan bukan? Apalagi ini daerah sensitif….menyangkut iman!

Namun pada akhirnya, saya tidak bisa mengalah untuk tidak ke Gereja, dengan berbagai pertimbangan yang cukup rumit untuk di ceritakan kembali, saya memutuskan untuk tetap melanjutkan langkah menuju Gereja. Apalagi sore itu sangat indah, dan pergi menuju Tuhan diiringi senja adalah sebuah hal yang benar-benar sebuah anugerah.

Namun entah bagaimana, pikiran saya yang menggugah namun menggugat serta menggagu dan menggoda itu tetap saja malang melintang di dalam pikiran saya. Setiap ada kesempatan, dia selalu saja muncul dengan pertanyaan yang sama, secara berulang-ulang, malah sekarang ditambah dengan embel-embel bujukan mesra bak kekasih yang sedang bermesraan.

“Ayolah bos, mendingan kita ngeceng di mall, apalagi ni hari minggu bos, BSM banyak cewe cakep bos. Kebetulan lagi jomblo kan? Dengerin Pastor khotbah ga karuan gini ga ada pengaruh ama hidup bos”.

“Eit tunggu dulu!” Bantah saya. “Tidak berguna bagaimana, Pastor itu bukan orang ‘biasa’, lha wong pendidikan dan persiapan untuk tahbiskan saja butuh waktu lama dan pendalaman yang sangat sungguh-sungguh. Ya, bisa dipastkan bahwa apa yang dibicarakannya itu pasti ada dasar ilmu dan kegunaan nya…ya toh!”

“Yah…lu lagi bos. Sekarang coba dengerin aja, pasti situ ngantuk dengerinnya, trus gak ngerti…ya kan?” Jawabnya dengan sok yakin. “Lagian situ liat aja deh sekitar situ punya tempat duduk, orang di sebelah, terus sebelahnya lagi. Bapak-bapak di depan, ibu-ibu di sebelahnya. Anak muda di sebalah kanan, gadis di sebelah kiri. Anak-anak di pekarangan. Berapa persen sih dari mereka yang khusuk dan benar-benar memikirkan Tuhan dalam hidupnya, boro-boro, sekarang saja mungkin dia lagi mikirin pacarnya, selingkuhannya, sampai proyek-proyeknya yang harus beres minggu depan, sampai mobil mewahnya yang di garasi belum sempat di coba. Atau mikirin perut yang besok mau di isi apa.Iya, kan?”

Saya sungguh kaget setengah mati dan, tentu saja, tidak terima, betul-betul tersinggung. Kalau saja ini bukan pikiran dan otak saya sendiri, sudah pasti saja ajak berdebat dan kalo mungkin berantem deh sekalin. Ini penghinaan, ini pelecehan. Saya harus membuktikan sendiri dengan mata dan kepala saya sendiri bahwa itu semua tidak benar, bahwa itu semua salah.

*

Walhasil, akhirnya setelah merenung, menimbang dan memikirkan. Saya putuskan untuk berhenti ke gereja. Kenapa ? Begini ceritanya…..

Hari minggu ketika pertanyan itu mulai muncul, saya pustuskan untuk tidak mengghiraukannya, dan berusaha sekhusuk mungkin untuk tetap di dalam gereja dan berdoa. Mengikuti dengan sekuat tenaga setiap bagian dlam perayaan misa itu. Walau seungguh sulit…lha wong mau tidak dihiruakan bagaimana, otak-otak sendiri. Yah, walaupun misa kali itu sungguh belepotan akhirnya selesai juga. Saya diberkati dan merasa sungguh diberkati.
Tapi pertanyaan itu tetap saja muncul, mungkin kalau dimisalkan itu seperti peran Ed-Haris dalam film A Beautifull Mind yang dibintangi Russell Crow. Yang terus mengikuti kemana pun Russel pergi. Saya pun keluar dari Gereja. Tentunya dengan kebingungan yang diluar kebiasaan.
Senja lagi-lagi tampak muram. Tetapi bukankah senja memang selalu muram? Kali ini Gereja nampak ramai sekali. Mobil yang diparkir serabutan, klakson yang bunyi di sana dan di sini. Anak-anak yang berlari, lalu muda-mudi yang bergerombol sambil cekakak-cekikik Serta orang-orang yang meniup peluit kesana-kemari yang kebanyakan muda-mudi, belakang saya baru tau kalo mereka itu mudika. Maklum , walaupun sering ke Gereja, tetapi kalo untuk aktif di Gereja, saya belum menyanggupi. Entah kenapa.

Dan akhirnya, perjalanan pun dimulai pikiran saya mulai wara-wiri . merenungkan sebetulnya apa yang saya kerjakan di Gereja. Berdoakah? Atau melamun. Saya sungguh terperanjat ketika mengingat-ingat bahwa sebetulnya saya lebih sering melamun dari pada mendengarkan proses liturgi yang disampaikan oleh Pastor. Saya terjaga dari lamun kalau sudah waktuya berdiri, atau nyanyi. Ketika khotbah pastor (kalalu seru, itu juga), dan Komuni. Selebihnya adalah proses meditasi gadungan yang lebih mirip lamunan yang sangat khusyuk.

Kalalu berdoa lain lagi, lebih mendingan, tapi tetap saja kacau. Kalau doa permohonan saya paling jago, tapi kalau untuk bersyukur dan lain-lain, paling-paling satu atau dua kalimat. Itu pun terlalu panjang. Nah!!

Walhasil, serperti yang sudah saya ceritakan di atas, saya putuskan untuk sementara, berhenti ke Gereja, sampai waktu yang belum di tentukan. Ini bukan masalah saya dengan Tuhan, tetapi ini masalah saya dengan diri saya sendiri. Itu sudah alasan yang cukup. Menurut saya.

*

Kini, sudah hampir satu bulan saya tidak ke Gereja, awalnya ada perasaan seperti kehausan yang terus menerus. Seperti kalau ingin minum karena haus, tetapi setelah minum hausnya tidak kunjung hilang. Tetapi, lalu saya terbiasa juga, untuk tidak berdoa, tidak memohon dan tidak bersyukur, terutama di dalam Gereja.

Hari berganti hari, senja berganti senja. Hidup terasa begitu normal. Malah kelewat normal. Daasr manusia pikir saya, kalau hidup terasa memusingkan kepingin hidup tenang, kalau hidup terasa tenang dan datar, kepingin hidupyang sedikit bergelora. Huh!! Saya mengutuk diri saya sendiri. Tetapi apa gunanya, karena hidup toh tetap terus dan terus berjalan.

Pekerjaan berjalan seperti biasanya, deadline mengejar seperti biasa, namun selesai dengan biasa-biasa juga. Tidak ada gelora, tidak ada semangat. Lancar, tetapi terlalu lancar. Benar kata Sokrates, hidup yang tak teruji, tidak layak untuk di jalani. Dan hidup yang membosankan itu adalah hidup dalam kedataran yang kosong, bukan kedamaian.

Sempat berpikir untuk berdoa, karena seperti kebanyakan orang yang pernah beriman, Tuhan adalah salah satu yang sealu dicari, terutama dalam setiap kegagalan, dosa, dan serba-serbi kejelekan. Tentu kali ini saya berpikir sendiri, bukan otak saya yang dulu pernah mengganggu itu. Ini murni saya sendiri, karena pikiran saya itu, tanpa saya sadari sudah jauh pergi.

Ya..ya…manusia adalah makhluk yang ajaib, dan kompleks, seperti juga penciptanya. Dan tentu, dalam kesempurnaannya manusia hadir sebagai sebuah makhluk dengan kelemahan yang absolut.

Begitulah, hari terus berlalu. Dalam kosong.


*


Hari akan beranjak menuju malam, langit yang tadinya terang mulai meredup. Tanpa saya sadari, diri saya kini berada pada sebuah lanskap. Seperti berada antara ada dan tiada, sebuah ruang abu-abu. Di depanku sejuta warna bermain di sebuah kanvas cakrawala. Merah yang tak merah, biru yang tak biru, jingga yang begitu sendu, bermain bersama membuat sebuah lukisan agung.

Angin yang berhembus seperti bertiup dari dunia kedamaian. Harum yang di bawanya, bagai semesta bau yang tak pernah tercipta, kecuali untuk saat ini.

Suatu hari bisa saja menjadi sebuah momen yang merubah segala-galanya dalam hidup. Agaknya inilah hari yang seperti itu. Tanapa saya sadari saya mulai berjalan, kemana? Entah, saya tidak berpikir akan sebuah tujuan. Hhmmmm….biarlah, toh sekali-kali perjalaan itu baik juga kalau tanpa tujuan, pikir saya.

Langkah ini belum juga berhenti, rasanya memang tempat yang menyerupai tujuan saya belum sampai, entahlah perasaan manusia itu terkadang begitu membingungkan sekali. Saya masih saja menurut langkah kaki ini. Pikiran saya melayang-layang.

Lalu, saya manyadari, rasanya jalan ini sering saya tempuh, dulu. Rasanya jalan ini begitu akrab karena hampir setiap minggu saya berjalan ke sini.
Nah! Saya sadar, ini jalan menuju Gereja!

Saya biarkan diri saya berjalan sendirian, tanpa pikiran yang seperti menolak. Saya masuk dalam Gereja. Semua tampak sama. Semua sudah pernah dilalui. Saya mencoba untuk mengikuti misa, tanpa pemberontakkan, tanpa pikiran saya yang ajaib yang pernah datang dulu itu. Lagi-lagi, dengan alasan yang entah apa itu, saya hanyut dalam semuanya.

Dan, tibalah sebuah momen dimana, kesunyian yang paling sunyi memhampiri saya. Dunia berubah dengan warna senja, warna kesukaan saya. Kekosongan meliputi seluruh yang ada pada diri saya, hanya sebentar. Lalu semua kembali normal.

Namun semua seperti berubah, semua seperti berbeda.

Dan saya menyadari bahwa ternyata bukanlah ritual dan segala pernak-pernik agama yang membuat kita damai, itu semua hanya media. Tetapi yang lebih penting adalah, sebuah tempat yang jauh di lubuk hati kita. Sebuah perasaan yang penuh dengan ketidakmengertian namun di dalam semua itu tersimpan kedamaian absolut. Saya berpikir itulah hakekat beriman. Yang transenden akan selalu trasenden, tetapi menanti untuk dimengerti, dipahami, disentuh dan dialami. Tuhan itu ada, dia tidak pernah kemana-mana. Kita tinggal mencari dan mendekati. Karena dia selalu menerima kita.

Diluar Gereja, senja bermain dengan indahnya.

***

Pernah dimuat di majalah Hidup, 10 Desember 2006

This page is powered by Blogger. Isn't yours?