<$BlogRSDURL$>

Monday, December 18, 2006

Senja Dalam Gereja
Oleh : Stefanus W.B

Di suatu senja yang hampir temaram dan mengharukan, tiba-tiba otak saya, entah yang bagian mana mengajukan sebuah pertanyaan yang menggugah sekaligus menggugat.

“Heh bos, buat apa sih situ pergi ke Gereja segala?”

Nah loh! Bener-bener pertanyaan yang menggugah, mengggugat dan tentu mengganggu sekali. Apalagi sore itu memang waktunya ke Gereja, mana hampir telat pula. Dan sudah sejak saya mengenal Gereja, saya selalu pergi ke Gereja. Dengan cara bagaimana pun ini tidak pernah ditinggalkan.

Saya bingung, benar-benar linglung. Tadinya saya berpikir untuk tidak pergi ke Gereja, karena bagaimana pun suatu pekerjaan yang tidak diyakini namun tetap dipaksakan untuk dijalani, tidak akan menyenangkan bukan? Apalagi ini daerah sensitif….menyangkut iman!

Namun pada akhirnya, saya tidak bisa mengalah untuk tidak ke Gereja, dengan berbagai pertimbangan yang cukup rumit untuk di ceritakan kembali, saya memutuskan untuk tetap melanjutkan langkah menuju Gereja. Apalagi sore itu sangat indah, dan pergi menuju Tuhan diiringi senja adalah sebuah hal yang benar-benar sebuah anugerah.

Namun entah bagaimana, pikiran saya yang menggugah namun menggugat serta menggagu dan menggoda itu tetap saja malang melintang di dalam pikiran saya. Setiap ada kesempatan, dia selalu saja muncul dengan pertanyaan yang sama, secara berulang-ulang, malah sekarang ditambah dengan embel-embel bujukan mesra bak kekasih yang sedang bermesraan.

“Ayolah bos, mendingan kita ngeceng di mall, apalagi ni hari minggu bos, BSM banyak cewe cakep bos. Kebetulan lagi jomblo kan? Dengerin Pastor khotbah ga karuan gini ga ada pengaruh ama hidup bos”.

“Eit tunggu dulu!” Bantah saya. “Tidak berguna bagaimana, Pastor itu bukan orang ‘biasa’, lha wong pendidikan dan persiapan untuk tahbiskan saja butuh waktu lama dan pendalaman yang sangat sungguh-sungguh. Ya, bisa dipastkan bahwa apa yang dibicarakannya itu pasti ada dasar ilmu dan kegunaan nya…ya toh!”

“Yah…lu lagi bos. Sekarang coba dengerin aja, pasti situ ngantuk dengerinnya, trus gak ngerti…ya kan?” Jawabnya dengan sok yakin. “Lagian situ liat aja deh sekitar situ punya tempat duduk, orang di sebelah, terus sebelahnya lagi. Bapak-bapak di depan, ibu-ibu di sebelahnya. Anak muda di sebalah kanan, gadis di sebelah kiri. Anak-anak di pekarangan. Berapa persen sih dari mereka yang khusuk dan benar-benar memikirkan Tuhan dalam hidupnya, boro-boro, sekarang saja mungkin dia lagi mikirin pacarnya, selingkuhannya, sampai proyek-proyeknya yang harus beres minggu depan, sampai mobil mewahnya yang di garasi belum sempat di coba. Atau mikirin perut yang besok mau di isi apa.Iya, kan?”

Saya sungguh kaget setengah mati dan, tentu saja, tidak terima, betul-betul tersinggung. Kalau saja ini bukan pikiran dan otak saya sendiri, sudah pasti saja ajak berdebat dan kalo mungkin berantem deh sekalin. Ini penghinaan, ini pelecehan. Saya harus membuktikan sendiri dengan mata dan kepala saya sendiri bahwa itu semua tidak benar, bahwa itu semua salah.

*

Walhasil, akhirnya setelah merenung, menimbang dan memikirkan. Saya putuskan untuk berhenti ke gereja. Kenapa ? Begini ceritanya…..

Hari minggu ketika pertanyan itu mulai muncul, saya pustuskan untuk tidak mengghiraukannya, dan berusaha sekhusuk mungkin untuk tetap di dalam gereja dan berdoa. Mengikuti dengan sekuat tenaga setiap bagian dlam perayaan misa itu. Walau seungguh sulit…lha wong mau tidak dihiruakan bagaimana, otak-otak sendiri. Yah, walaupun misa kali itu sungguh belepotan akhirnya selesai juga. Saya diberkati dan merasa sungguh diberkati.
Tapi pertanyaan itu tetap saja muncul, mungkin kalau dimisalkan itu seperti peran Ed-Haris dalam film A Beautifull Mind yang dibintangi Russell Crow. Yang terus mengikuti kemana pun Russel pergi. Saya pun keluar dari Gereja. Tentunya dengan kebingungan yang diluar kebiasaan.
Senja lagi-lagi tampak muram. Tetapi bukankah senja memang selalu muram? Kali ini Gereja nampak ramai sekali. Mobil yang diparkir serabutan, klakson yang bunyi di sana dan di sini. Anak-anak yang berlari, lalu muda-mudi yang bergerombol sambil cekakak-cekikik Serta orang-orang yang meniup peluit kesana-kemari yang kebanyakan muda-mudi, belakang saya baru tau kalo mereka itu mudika. Maklum , walaupun sering ke Gereja, tetapi kalo untuk aktif di Gereja, saya belum menyanggupi. Entah kenapa.

Dan akhirnya, perjalanan pun dimulai pikiran saya mulai wara-wiri . merenungkan sebetulnya apa yang saya kerjakan di Gereja. Berdoakah? Atau melamun. Saya sungguh terperanjat ketika mengingat-ingat bahwa sebetulnya saya lebih sering melamun dari pada mendengarkan proses liturgi yang disampaikan oleh Pastor. Saya terjaga dari lamun kalau sudah waktuya berdiri, atau nyanyi. Ketika khotbah pastor (kalalu seru, itu juga), dan Komuni. Selebihnya adalah proses meditasi gadungan yang lebih mirip lamunan yang sangat khusyuk.

Kalalu berdoa lain lagi, lebih mendingan, tapi tetap saja kacau. Kalau doa permohonan saya paling jago, tapi kalau untuk bersyukur dan lain-lain, paling-paling satu atau dua kalimat. Itu pun terlalu panjang. Nah!!

Walhasil, serperti yang sudah saya ceritakan di atas, saya putuskan untuk sementara, berhenti ke Gereja, sampai waktu yang belum di tentukan. Ini bukan masalah saya dengan Tuhan, tetapi ini masalah saya dengan diri saya sendiri. Itu sudah alasan yang cukup. Menurut saya.

*

Kini, sudah hampir satu bulan saya tidak ke Gereja, awalnya ada perasaan seperti kehausan yang terus menerus. Seperti kalau ingin minum karena haus, tetapi setelah minum hausnya tidak kunjung hilang. Tetapi, lalu saya terbiasa juga, untuk tidak berdoa, tidak memohon dan tidak bersyukur, terutama di dalam Gereja.

Hari berganti hari, senja berganti senja. Hidup terasa begitu normal. Malah kelewat normal. Daasr manusia pikir saya, kalau hidup terasa memusingkan kepingin hidup tenang, kalau hidup terasa tenang dan datar, kepingin hidupyang sedikit bergelora. Huh!! Saya mengutuk diri saya sendiri. Tetapi apa gunanya, karena hidup toh tetap terus dan terus berjalan.

Pekerjaan berjalan seperti biasanya, deadline mengejar seperti biasa, namun selesai dengan biasa-biasa juga. Tidak ada gelora, tidak ada semangat. Lancar, tetapi terlalu lancar. Benar kata Sokrates, hidup yang tak teruji, tidak layak untuk di jalani. Dan hidup yang membosankan itu adalah hidup dalam kedataran yang kosong, bukan kedamaian.

Sempat berpikir untuk berdoa, karena seperti kebanyakan orang yang pernah beriman, Tuhan adalah salah satu yang sealu dicari, terutama dalam setiap kegagalan, dosa, dan serba-serbi kejelekan. Tentu kali ini saya berpikir sendiri, bukan otak saya yang dulu pernah mengganggu itu. Ini murni saya sendiri, karena pikiran saya itu, tanpa saya sadari sudah jauh pergi.

Ya..ya…manusia adalah makhluk yang ajaib, dan kompleks, seperti juga penciptanya. Dan tentu, dalam kesempurnaannya manusia hadir sebagai sebuah makhluk dengan kelemahan yang absolut.

Begitulah, hari terus berlalu. Dalam kosong.


*


Hari akan beranjak menuju malam, langit yang tadinya terang mulai meredup. Tanpa saya sadari, diri saya kini berada pada sebuah lanskap. Seperti berada antara ada dan tiada, sebuah ruang abu-abu. Di depanku sejuta warna bermain di sebuah kanvas cakrawala. Merah yang tak merah, biru yang tak biru, jingga yang begitu sendu, bermain bersama membuat sebuah lukisan agung.

Angin yang berhembus seperti bertiup dari dunia kedamaian. Harum yang di bawanya, bagai semesta bau yang tak pernah tercipta, kecuali untuk saat ini.

Suatu hari bisa saja menjadi sebuah momen yang merubah segala-galanya dalam hidup. Agaknya inilah hari yang seperti itu. Tanapa saya sadari saya mulai berjalan, kemana? Entah, saya tidak berpikir akan sebuah tujuan. Hhmmmm….biarlah, toh sekali-kali perjalaan itu baik juga kalau tanpa tujuan, pikir saya.

Langkah ini belum juga berhenti, rasanya memang tempat yang menyerupai tujuan saya belum sampai, entahlah perasaan manusia itu terkadang begitu membingungkan sekali. Saya masih saja menurut langkah kaki ini. Pikiran saya melayang-layang.

Lalu, saya manyadari, rasanya jalan ini sering saya tempuh, dulu. Rasanya jalan ini begitu akrab karena hampir setiap minggu saya berjalan ke sini.
Nah! Saya sadar, ini jalan menuju Gereja!

Saya biarkan diri saya berjalan sendirian, tanpa pikiran yang seperti menolak. Saya masuk dalam Gereja. Semua tampak sama. Semua sudah pernah dilalui. Saya mencoba untuk mengikuti misa, tanpa pemberontakkan, tanpa pikiran saya yang ajaib yang pernah datang dulu itu. Lagi-lagi, dengan alasan yang entah apa itu, saya hanyut dalam semuanya.

Dan, tibalah sebuah momen dimana, kesunyian yang paling sunyi memhampiri saya. Dunia berubah dengan warna senja, warna kesukaan saya. Kekosongan meliputi seluruh yang ada pada diri saya, hanya sebentar. Lalu semua kembali normal.

Namun semua seperti berubah, semua seperti berbeda.

Dan saya menyadari bahwa ternyata bukanlah ritual dan segala pernak-pernik agama yang membuat kita damai, itu semua hanya media. Tetapi yang lebih penting adalah, sebuah tempat yang jauh di lubuk hati kita. Sebuah perasaan yang penuh dengan ketidakmengertian namun di dalam semua itu tersimpan kedamaian absolut. Saya berpikir itulah hakekat beriman. Yang transenden akan selalu trasenden, tetapi menanti untuk dimengerti, dipahami, disentuh dan dialami. Tuhan itu ada, dia tidak pernah kemana-mana. Kita tinggal mencari dan mendekati. Karena dia selalu menerima kita.

Diluar Gereja, senja bermain dengan indahnya.

***

Pernah dimuat di majalah Hidup, 10 Desember 2006

Monday, November 27, 2006

MNEMONIC
: DeA

Aji

Kata Sapardi *, gerimis itu hanya bersijingkat dengan kaki-kakinya yang kadang hilang kadang tampak. Dan ku pikir gerimis itu juga halus. Ya, memang gerimis tidak sama dengan hujan. Tetapi baru rasanya, ada orang yang membenci hujan. Toh, jika di bumi itu banjir rasanya itu bukan kehendak hujan. Ia hanya menjatuhkan bulir-bulir kesegaran dari langit yang teduh itu, ke bumi ini. Dan kamu pun pasti tau bagaimana rasanya hidup di bumi ini.

Orang memanggilmu bunga matahari, karena kamu membenci hujan. Jika kamu mau lihat lebih dekat lagi sebetulnya hujan dan matahari adalah sepasang kekasih, rasa-rasanya ini juga kata Sapardi. Nah, jika mereka adalah sepasang kekasih berarti, kamu tidak bisa mencintai matahari tanpa mencintai hujan. Itu tidak seimbang! Bukankah hidup adalah pencarian untuk sebuah keseimbangan?

Seperti aku mencintai langit, maka aku pun mencintai awan dan juga warna-warna senja. Ketika ku katakan pada bintang aku cinta dia, maka aku pun akan menyayangi bulan. Sama seperti hitam mencintai putih, kurasa kamu juga harus mencintai hujan.

Ketika ku memintamu untuk datang ke rumah ku waktu itu, kamu menjawab, “sedang hujan, aku tak mau keluar!” Tentu dengan ketus. Dan aku sudah paham, makanya tidak mau berdebat denganmu. Namun setelah kupikir, sikapmu itu tidaklah beres, aku tak mengatakan itu tak adil. Karena rasanya sangat sulit menemukan keadilan di dunia ini. Bahkan datang dan pergi pun sering saling tak adil. Ya, itu hanya sebuah sikap yang tidak beres. Lalu, kutulis saja surat ini, mudah-mudahan bisa membereskan sikapmu yang tidak beres itu. Supaya kamu juga bisa bersikap seimbang.

Jika alasan kamu membenci hujan hanya karena takut basah, maka yang harus disalahkan itu adalah kamu sendiri. Coba bayangkan kesedihan hujan yang sering disalahkan karena membuat basah manusia. Bahkan sering dicaci maki. Sebetulnya jika manusia mau mengerti, ya kalau sudah tau hujan itu air, maka harus siap dong dengan segala konsekuensinya. Termasuk kebasahan. Nah, sekarang kamu bisa pikirkan, jika hujan punya perasaan maka ia akan sedih sekali, bukan?

Pernah kamu mendengarkan hujan? Belum! Rasanya akan lebih sangat tidak beres kalau kamu membenci hujan. Jika kamu hadir dengan telinga yang mendengar, hujan itu menceritakan sebuah rahasia. Rahasia yang ia simpan untuk pucuk pohon dan dedaunan. Aku tau ini dari Agus N **. Rasanya sesuatu yang belum teruji tidak layak untuk dipercayai. Maka kucoba saja dengarkan hujan. Ternyata benar! Ia tidak mau membagi rahasianya denganku. Ia hanya membisu, tetapi ketika aku akan pergi, sayup-sayup kudengar ia bercerita pada pucuk pohon dan dedaunan. Tentunya tentang sebuah rahasia.

Hujan itu lembut, sayup. Seperti mata kamu. Hujan itu memberi kesegaran, seperti senyummu, yang dibalut bibir yang lembut itu. Dan hujan menjadi indah karena untaian butir-butirnya yang serempak menjatuhkan diri ke bumi, seperti untaian kata-katamu yang mempesona diriku. Sedangkan rambutmu yang terurai itu mengingatkan ku pada pesona jatuh lurus butir hujan. Kamu lihat kan betapa keindahanmu menyerupai keindahan hujan.

Coba kamu pikirkan lagi sikapmu ini. Jadikan saja surat ini sebagai bahan renungan atau sebuah saran, tetapi jangan dijadikan bungkus gorengan, yang sering kamu beli setiap sore itu.
Sudah segitu saja, kamu baca saja dulu. Nanti kabari aku lagi, ya!

***

Rein

Tidak!!

Hujan tidak menceritakan sebuah rahasia apa pun. Dia hanya menangis. Itu saja. Dan pucuk pohon yang katamu mendengarkan rahasia itu, dia hanya gelisah. Betul pohon itu mendengarkan, tetapi bukan sebuah rahasia. Hanya percakapan antara awan dan tetesan hujan. Percakapan tentang sebuah perpisahan yang memilukan. Itulah sebabnya aku membenci hujan. Ia hanya segumpal kesedihan yang tak tertahankan. Yang kebetulan jatuh ke bumi.

Jika kamu menyangka desah yang kamu dengar itu sebagai sebuah rahasia, maka itu adalah sebuah kekeliruan. Seperti sebuah lagu tersedih yang kamu dengarkan setiap malam, sambil memandangi langit yang bertabur bintang. Itulah kesedihan yang hujan rasakan. Terlalu sering aku mendengarkan hujan. Dan setiap kudengarkan desahnya yang lirih itu, aku menangis. Dan kemudian kami bersama-sama menangis. Mengisi hati yang luka dengan tetes-tetes air mata.

Dan aku melarikan diri dari kesedihan itu bersama matahari, bersama riak sinarnya yang terang, yang menyilaukan. Tak terdengar lagi suara-suaru tangis itu. Hanya tawa kami, aku dan matahari yang memenuhi ruang waktu. Mungkin kami sepasang kekasih atau hanya teman baik. Aku tak begitu peduli. Chemistry itu hadir setiap kami bertemu. Dan aku percaya cinta sejati itu, berawal dari sebuah chemistry. Seperti aku dan kamu. Dulu.

Matahari dan hujan pun bukanlah sepasang kekasih lagi. Mereka telah lama berpisah. Dan percakapan sedih antara awan dan hujan adalah bukti kisah cinta sejati, bukan seperti waktu dia dan matahari bersama.

Sudah sering kukatakan kepadamu, antara kita tak ada lagi tanda-tanda seperti yang kudapatkan dari matahari. Saat kita telah berlalu. Dan gambar dirimu pun sudah tak terlukis lagi dalam guratan senja. Dan kamu tahu bukan betapa aku begitu mengagumi senja lebih dari apapun. Disana terdapat tanda-tanda yang dapat meyakinkan aku akan suatu kepastian. Dan kini wajahmu telah pudar, bersama dengan berakhirnya warna kemilau jingga yang terciprat di ujung sebelah Barat sana.

Sudah sering kubisikkan padamu, sama seperti kisah perpisahan yang memilukan antara awan dan tetesan hujan. Seperti itulah. Dan kini semua terceritakan melalui hujan. Itulah kenangan terakhir diriku untukmu.

Waktu kita telah berlalu.

***

Aji

Lalu, keabadian rindu menemukan jalan buntu. Kemanakah hati harus berlabuh jika ragu selalu saja menderu bagai ombak yang terindah. Rein, ini adalah pesan terakhir yang bisa kutulis, mungkin kamu terlalu sibuk dengan pekerjaanmu sebagai marketing sebuah radio terkenal di kota B. Tetapi setidaknya demi kenangan yang pernah kita lalui, ijinkan aku untuk menuangkan segala kegalauan yang selalu mendera diri ini.

Ini adalah pesan terakhir yang mampu kutulis, bukan....bukan karena aku akan meninggalkanmu, hanya saja kelemahan diri membuat harapan semakin menjauh. Aku takkan pernah pergi Rein, takkan pernah dan kamu tau itu.

Biarlah hujan selalu menjadi mnemonic akan kehadiranmu.
***

*) Sapardi disini adalah pengarang Sapardi Djoko Damono
**) Agus N disini adalah pengarang Agus Noor

Thursday, October 26, 2006

Sebuah Jazz
A tribute to SGA
Oleh : Wiku Baskoro


Sebuah jazz, memecah kesunyian ruangan itu. Sebuah perpustakaan. Deretan buku mulai bergerak, bergoyang. Bagai terbebas dari perbudakaan tata ruang rak yang mengharuskan mereka berdiri dalam diam seribu bahasa.

Buku-buku itu mulai merasakan hawa kebebasan yang sungguh menggembirakan. Jazz membawa perlawanan, jazz membawa pembebasan. Seperti juga improvisasi yang dilantunkan lagu itu, buku-buku itu pun berimprovisasi, menari, meloncat dan bergerak bebas.

Ada buku politik disana yang membuat sebuah dansa yang menakjubkan. Ada buku sastra yang menyanyi sambil menghentakan kaki mereka. Ada buku filsafat yang mulai menjentikkan jari mereka mengikuti irama. Ada ensiklopedi yang menggoyangkan kepala mereka tak bisa berhenti. Ya! Jazz membebaskan mereka semua. Menyatukan dalam sebuah harmoni yang tidak bisa ditolak siapapun dari mereka. Tidak ada eksklusifitas dalam jazz. Ini benar-benar root jazz, bung!

Aku memperhatikan semua itu dengan tersenyum, berpikir bahwa kebebasan itu tidak dapat tergantikan oleh apapun. Bagaimanapun kebebasan itu di bendung, maka pemberontakan atas kungkungan itu akan terus terjadi. Lalu aku juga melihat bahwa perbedaan bukan hal yang seharusnya diperdebatkan. Jazz mempersatukan semua. Jazz melawan perbedaan itu, menghancurkanya dan menyatukan kembali semua. Jazz, hanya jazz.

Di luar, senja juga mulai menari, artinya hari akan segera malam. Seharusnya aku sudah pulang dari perpustakaan ini. Melakukan perjalanan menuju rumah dengan jalan yang telah aku tempuh selama lebih dari 3 tahun. Lalu melakukan kegiatan yang sama, itu-itu juga. Memasukkan motor ke garasi, melepas sepatu, mencuci kaki. Mengganti pakaian, makan malam, lalu tidur. Besok akan datang dan dilalui dengan kegiatan yang praktis hampir sama.
Hidup telah menjadi rutinitas, yang mau tidak mau harus aku jalani. Makanya kupikir, aku membutuhkan jazz. Membutuhkan sebuah momen seperti yang dilalui oleh buku-buku itu. Mereka begitu hidup, begitu bergelora.

Walaupun aku sudah berteman dengan mereka hampir 3 tahun, rasanya baru kali ini aku melihat mereka begitu bersemangat. Jazz yang membebaskan, jazz yang memberontak, jazz yang merubah segala-galanya, jazz yang membuat mereka bergerak-gerak, berjingkrak-jingkrak, menari-nari.

Lalu aku teringat sahabatku. Dia bagiku adalah seorang dengan absurditas yang murni. Seperti Camus memandang sebuah absurditas. Memang dia tidak memainkan jazz, dia memainkan musik dengan aliran lain. Dan aku tidak mengerti sama sekali musik yang dimainkannya. Ketika suatu waktu aku bertanya dengan nada ketus, musik macam apa ini, dia menjawab dengan dingin dan penuh keyakinan.

“Ini musik perlawanan, bung!”
Weh…perlawanan, hebat amat!! Pikirku.

Hanya itu penjelasannya, dan aku masih tidak mengerti. Ia sudah berkeluarga, dan dia sudan memainkan musik perlawanan itu hampir seumur hidupnya.

“Bagiku tidak ada kata menyerah bung. Perlawanan harus terus dilakukan. Walaupun kita tak pernah menang!” Begitu jawabnya lain waktu.

Aduh! Aku benar-benar belum bisa menerima absurditas seperti itu. Aku terlalu terlanjur masuk dalam dunia rutinitas yang hampa, yang kosong. Bagiku perlawan itu berarti, kehilangan banyak waktu dan sia-sia.

Begitulah keyakinanku sebelum aku tiba pada sore ini, menyetel jazz keras-keras dan memperhatikan ribuan buku menari-nari, membebaskan diri dari kungkungan yang sebetulnya telah menjadi bagian dari hidup mereka.

Aku seperti tersentak dan tersadar, bahwa hidup ini memang perlu selalu dirubah, tidak stagnan dan statis. Kedinamisan yang dulu menjadi sebuah makna yang bisu sebisu-bisunya, kini menjadi lampu yang terang-benderang.

Aku masih memperhatikan buku-buku itu yang terus bergerak menikmati alunan jazz yang begitu menggelora, mengugah, dan tentunya mempesona.

Seandainya kau ada di sini kekasihku yang manis, pasti kamu akan setuju sekali dengan pendapatku. Bagaimana tidak. Cobalah ceritakan padaku bagaimana rasanya terbebaskan dari semua rutinitas yang sudah membelenggu selama hampir selama-lamanya. Well…tidak terbayangkan bukan. Tenanglah manisku, aku tentu masih dan selalu mencintaimu. Apapun yang aku rasakan saat ini, tentu tidak akan merubah rutinitas cinta kita, itu pengecualian.

Kali ini lagu jazz sendu yang mengalun, aku jadi semakin ingat kamu. Ingat senyummu, ingat tatapanmu, dan ingat tingkahmu yang selalu saja membuat rindu. Lihat manisku, buku-buku itu pun merubah hentakan tari mereka menjadi dansa yang paling romantis yang pernah aku lihat. Oh…betapa kehadiranmu adalah yang paling kuinginkan saat ini. Tapi apa daya, kemajuan teknologi yang sehebat apapun tentu tak dapat membuat kamu berpindah dalam sekejap dari tempat nun jauh di sana menuju tampatku ini. Entah, mungkin 20 tahun lagi itu baru mungkin.
“Mainkan lagu Miles Davis!” Teriak salah satu buku di ujung sana.

“Jangan! Mainkan saja Louis Armstrong.”
Wah musisi hebat semua itu, aku terheran-heran.
”Charlie Parker saja!”
Aku jadi tidak sabar, “Duke Ellington…ya, Duke Ellington, itu yang akan kuputar!”

Lalu radio kumatikan, kumasukkan keping cd berisi 13 lagu Duke Ellington. Dan bermainlah ia, maestro jazz dengan pianonya yang berubah menjadi benda paling ajaib di dunia. Mengalunlah lagu kebebasan, mengalunlah jiwa yang tercerahkan. Dan kami pun berdansa semua. Merayakan kebebasan yang sudah sangat langka ini. Entahlah, mungkin besok aku masih kembali masuk dalam rutinitas yang itu-itu lagi, mungkin juga nanti setelah keluar dari perpustakaan ini aku akan kembali menjadi manusia “kota” yang sudah banyak kehilangan rasa. Entahlah, yang pasti jazz seperti ini sangat sayang jika tidak dinikmati.

Dan maaf kekasihku yang sangat manis, ini bukanlah jazz café atau jazz klab malam mewah. Ini hanyalah musik jazz kampungan yang hadir dari kota-kota kumuh kulit hitam. Yang menemani kehidupan mereka yang kelam, kehidupan para budak ynag suram. Maaf, kali ini kita tidak bisa menikmati jazz dengan wine. Tetapi aku yakin kamu pasti mengerti, aku sangat yakin. Bukankah kita sudah sangat saling mengerti?

Dalam hitungan detik malam akan segera datang, dan bila malam datang itu ditandai dengan menyalanya berbagai billboard dengan berbagai gambar yang tentunya dibuat agar semenarik mungkin walaupun bagiku sangat tidak menarik. Lampu-lampu jalan yang otomatis akan mulai menyala, tukang nasi goreng akan mulai berjualan menyusuri jalan komplex, memukul katel sesering mungkin memanggil calon pembeli yang tak kunjung terpanggil.

Lalu jalanan akan dipadati penjaja indomie rebus dan jagung bakar. Mmmm…betapa kota sibuk sekali manisku. Dan betapa kesibukan itu begitu membuai dengan ilusi berbagai warna. Senja, kini benar-benar sudah hilang, digantikan oleh langit biru yang tampak hitam, rembulan yang cuman sepotong, dan berbagai binatang penghias malam.

Mungkin kini kamu sedang malamun kekasihku, betapa aku hafal kamu suka sekali melamun. Sambil memegang secangkir kopi panas, kamu akan duduk di sofa kesayanganmu, menatap ke ujung. Pikiranmu akan mengembara kesana-kemari. Entah apa yang kamu pikirkan. Itulah ruang paling pribadi seseorang, yang orang lain tak akan bisa menyentuhnya. Dan betapa aku menghormati ruang itu.

Justru aku mendapati keindahan yang hampir tiada tara, ketika menatapmu dengan mata yang menerawang, kaki yang terlipat, bibir yang mengelurkan hembusan lembut, dan asap kopi yang bergerak menjauhi bibirmu. Sebuah lukisan keindahan.

Mungkinkah kamu memikirkan aku. Atau tidak, ah…betapa hidup ini memang tidak bisa ditebak. Tapi apapun yan gterjadi, tenanglah kekasihku, akan kukirimkan lagu terbaik di dunia, akan kukirimkan melodi termasyur di bumi, kan kukirimkan rentetan improvisasi yang sudah pasti tidak akan membosankan. Akan kukirimkan sebuah Jazz.

Ya…seperti jazz yang sedang mengalun di ruang perpustakaan ini. Biasanya ruangan ini akan sunyi sekali pada jam-jam segini. Namun berkat jazz, sepi itu kini melayang entah kemana. Dan yang tertinggal kini adalah suara riuh buku-buku yang berdansa, yang menyanyi, bersenandung dan berjingkrak.

Ada desiran lembut yang tiba-tiba menggelora dalam diriku. Belum tau pasti ini apa. Ternyata musik itu terkadang membuat lupa. Seperti saat ini. Musik membuat lupa akan penderitaaan, akan kesunyian. Hidup yang terlalu menyita, kini terlupa, nyumput entah kemana. Dan desiran gelora itu begitu menggugah.

*

Tiba-tiba aku melonjak, lalu kubanting masa laluku. Kumainkan jemari pada tuts keyboard. Menyusun cerita ini, agar kamu tahu kekasihku yang manis, betapa rutinitas itu sangat membosankan dan betapa jazz itu begitu menyegarkan.

Bandung, Perpustakaan, 2006, pernah dimuat di majalah LAMPUKU, UNPAD

Thursday, February 16, 2006

Bangku Taman*) 

Bangku Taman*)
oleh : wiku baskoro
Pagi berganti senja, senja beganti malam, dan malam berganti pagi. Tak ada yang berubah dari waktu. Ia terus saja bertambah, tak pernah semakin tua. Hanya bertambah saja.

Lelaki itu duduk, di sebuah bangku taman. Seperti sebuah perahu yang terdampar pada tepi pantai. Rasa kantuk mulai menyelimuti seluruh dirinya. Antara sadar dan tak sadar, bayangan akan segala kejadian melintas tak tentu arah. Senja, malam, siang, sarapan, bergegas, kerja. Saling tumpang tindih. Saling berputar.

Di taman yang sepi itu hanya bersinar sebuah lampu yang mengeluarkan cahaya kuning yang berbaur dengan gelap. Tersamar. Ia terduduk tenang, malam semakin larut. Menyembunyikan segala kisah, pesta, perampokkan, pemerkosaan, sex, pub, perempatan yang macet, tukang indomie rebus yang lenggang. Jalan layang yang sepi, lampu, gelap, orang yang terlelap, dingin. Dan sebuah bangku taman, di mana ia duduk.

Lelaki itu teringat masa kecilnya yang bahagia. Pelukan ayah dan ibunya, dalam rumah yang sederhana. Tawa riang yang begitu lepas dan beban yang tak pernah singgah di pundaknya. Masa kecil, masa dimana bahagia tanpa alasan adalah diperbolehkan, masa dimana dirinya selalu saja punya berbagai kesibukkan, apa pun itu. Dan sebuah masa dimana keinginan akan selalu terkabulkan, walau dirinya selalu saja tak mengerti bagaiana caranya **). Masa dimana dunia dan segala isinya adalah segala-galanya.

Dengan mata terpejam ia menikmati lelahnya. Lelah yang bercampur kelam malam. Dalam sebuah taman di bawah naungan langit yang tanpa awan, tanpa terang. Lelah yang bercampur dengan kehampaan yang hening, hening sehening kabut pagi yang dinanti, sebagai anugerah bernama embun. Kehampaan yang kini menjadi sebuah rutinitas, tertanam dalam malam seperti tusukkan-tusukan tak tertahan. Rutinitas yang hampa.

Lelaki itu, dalam heningnya malam masih saja terduduk di sebuah bangku taman. Tanya dalam hatinya menyeruak keluar dalam hembusan nafas. Tanya akan sebuah hari yang mungkin sedikit berubah. Hari yang mungkin takkan pernah terjadi. Lelaki itu lelah mempunyai harapan. Begitu lelah sehingga hanya harapanlah yang memenuhi seluruh kehidupannya. Harapan yang kini menjadi sebuah rutinitas, lagi-lagi rutinitas. Raut muka yang sejenak tertiup oleh angin malam yang begitu tenang, menunjukkan beberapa luka. Goresan-goresan buah kehidupan. Muka yang penuh peluh, serta penuh luka. Adalah dunia yang selalu menghadirkan kontradiksi permanen. Antara cinta dan benci, antara ragu dan harapan, antara sepi dan riuh. Antara engkau dan dia. Dan dalam dunia yang dilaluinya, lelaki itu tetap berjalan, menyusuri sungai-sungai kehidupan yang kering dan hambar. Tanpa cinta, tanpa benci. Hanya kekosongan, yang juga permanen.

Debu dan panas yang berubah menjadi peluh, kini beku dalam penantian akan cerahnya pagi. Cerah yang tak berarti lagi. Karena itu semua hanya berarti sebuah rutinitas yang kembali hampa. Hanya berarti debu dan panas yang akan menerpa mukanya. Muka yang penuh peluh dan luka. Semua takkan berubah. Bumi kan terus berputar, angin akan terus menerpa semua wajah, wajah-wajah dalam peluh dan terluka. Waktu tentu takkan pernah berhenti. Takkan pernah.

Lalu lelaki itu bertanya pada pikirannya sendiri. Lalu, setelah termenung seperti ini, apakah hidup akan berlalu ? Akan bertambah layak ? Atau sepinya terik matahari akan terus hadir, dalam iringan hiruk pikuk sunyi. Tanpa tujuan yang pasti. Kemudian hidup menjadi sangat tidak berarti. Lelaki itu hampir putus asa, lalu kemudian angin berhembus kembali, menerpa wajahnya. Tanpa sadar akan suatu maksud tertentu, ia mengangkat wajahnya. Di ujung sorot matanya, langit yang kelam bergerak. Awan-awan yang menyelimutinya bergerak-gerak. Menyingkap sebuah sosok yang tersenyum. Samar.

Lalu bulan yang nampak seperti sebuah senyuman, hadir. Lelaki itu pun tersenyum. Tiba-tiba perasaan bahagia yang tak termengerti hadir, menyelimuti semua lukanya, dalam kehangatan cinta. Adakah semua jawaban terangkum dalam cinta ? Ia kembali bertanya, sambil masih tersenyum. Lalu langit, yang kelamnya memudar, senyuman bulan yang damai dan cahaya lampu yang kuning tersamar, seperti memberi jawaban. Jiwa lelaki itu mulai mencatat, mulai membuat analisa, mulai bergerak. Seperti baru pertama kali tubuhnya dialiri oleh darah, lelaki itu merasakan gairah memenuhi seluruh tubuhnya. Semangat yang hampir terkubur, perlahan muncul. Dan jawaban mulai menuliskan sendiri, satu-satu huruf-hurufnya.

Cinta. Beribu misteri tersirat, tersurat di dalamnya. Kesunyian yang ramai, absurditas yang meyakinkan, jawaban yang damai. Misteri yang tak pernah sedikitpun terketahui. Cinta, bukankah cinta itu harapan ? Dan harapan hanya menghasilkan lelah ? Lelaki itu kembali muram. Tak ada yang berubah, ia mendesis. Hanya waktulah yang abadi. Tak berubah. Selain itu pasti berubah. Maka benci akan menjadi rindu. Sepi akan menjadi ramai dan maaf akan berbuah cinta.

Ah….maaf. Lagi-lagi misteri. Sebuah kata berujud sikap yang meluluhkan angkuh. Meleburnya menjadi permata, bernama kasih. Aku harus meminta maaf, pikirnya dalam hati. Karena maaf akan membasuh kelelahan yang penuh luka.

Sesaat lelaki itu hendak bangkit. Melepaskan diri dari bangku taman, lampu redup dan sunyi yang laknat itu. Namun bersamaan dengan cerahnya mentari di ufuk sana, lelaki itu merasakan sebuah sentuhan dibahunya. Sentuhan yang begitu mendamaikan, sentuhan yang begitu ia nantikan. Ia menoleh ke belakang. Dalam keremangan yang kian pudar, lelaki itu melihat sebuah senyuman yang ia lihat tadi, menjelang pagi. Saat langit masih pekat. Senyum yang menghapus peluh di dadanya. Ia melihat muka yang tenang dan sejuk. Sesejuk embun yang mulai hadir di taman itu. Muka yang dimiliki oleh sesosok wanita, yang begitu ia rindukan. Yang padanya maaf layak untuk diberikan. Wanita yang membawakannya cinta sejati.

Dalam lelah akan harapan, dalam peluh penuh luka, lelaki itu menangis. Kemudian, wanita itu berkata, “ aku sudah memaafkanmu. Dari dulu. Dan aku tau kau pun melakukan hal yang sama.”

Kemudian keduanya berpelukan. Erat. Dan, bangku taman itu kini tak lagi sepi. Taman itu pun tak lagi sendiri. Cahaya matahari menyingkap semua rahasia. Bunga-bunga, pohon-pohon yang rimbun, lima lampu taman yang tak lagi redup, empat bangku taman yang saling berpasangan. Dan embun. Beribu-ribu embun yang membasuh dua orang manusia, dalam cinta.
***
Oktober, 2005
*) Cerpen ini sangat terinspirasi oleh lagu dan syair Bangku Taman, yang diciptakan dan dimainkan oleh Pure Saturday. Beberapa teks dalam cerpen ini menggunakan syair-syair tersebut.
**) Paulo Coelho, The 5th Mountain

7: 30 pagi, hujan turun di kota itu
oleh : wiku baskoro
Aku tak tau mana yang harus kuceritakan lebih dulu, indahnya hujan atau lembut bibirmu, karena semua sama indahnya dan sama pahitnya. Terutama jika keduanya meninggalkan sesuatu bernama kenangan.

Dulu aku pernah bercerita padamu tentang bagaimana hujan selalu mengingatkanku padamu. Ketika aku sendiri dan hujan turun, rasanya bertemu denganmu adalah keinginan yang paling ingin terpenuhi. Dan jika memang benar kita bertemu, kita berubah menjadi hujan itu sendiri. Setiap kali kuceritakan ini kau pasti tersenyum dan merebahkan kepalamu pada pundakku. Kita menjadi begitu sempurna ketika bersama, seperti senja dan awan yang saling melengkapi.

Kini keadaannya jauh berbeda. Dulu tak begitu sulit kita bertemu, kini tidak lagi. Terutama dengan jarak yang memisahkan kita. Sebetulnya bukan kemauanku untuk pindah ke kota Bandung ini. Tetapi memang sudah menjadi keharusan. Dulu kita mudah saja bertemu di pinggir pantai Pangandaran, berpegangan tangan sambil menikmati lembutnya pasir. Sesekali bermain bersama hangatnya air laut. Kita begitu mesra.

Ah....rindu selalu saja membuat kecewa. Dan kata-kata tak bisa menyempurnakan rindu, hanya pertemuan yang bisa. Banyak cerita yang menunjukkan bahwa seseorang yang di mabuk cinta bisa berbuat apapun. Menyukai ibunya sendiri, menculik kekasihnya, menyeberangi lautan, menempuh bahaya dan banyak lagi. Tetapi kau tau bahwa aku tidak bisa berbuat seperti itu. Kita sudah cukup berumur, dan orang seperti kita akan lebih menggunakan rasio dari pada perasaan. Kau tau itu bukan. Jika tidak, mungkin kau sudah disini bersamaku, manghabiskan waktu dan bercumbu.

Kenapa kita tak bertemu saja sejak dulu kekasihku? Mengapa waktu selalu menjadi musuh kita? Bukankah cinta mengalahkan segala?
Hujan kini sudah berhenti, dan di ujung sana pelangi muncul.

“ Kita adalah pelangi, sayangku. Bertemu hanya di waktu hujan selesai.”
“ Kau adalah jingga dan aku biru”, balasku.

Suara lembut, yang selalu kuingat, sebelum bibir kita bertemu. Lalu setelah itu, kau bertanya tentang kesetiaan, seperti yang selalu dilakukan oleh setiap wanita. Kau membayangkan bagaimana pertemuan kita selanjutnya. Mungkin ini pertanda, karena wanita selalu memiliki kelebihan daripada pria. Pertanda akan perpisahan yang selalu menyertai pertemuan kita, yang sebetulnya bukan benar-benar sebuah perpisahan. Karena cinta terlarang tak mengenal perpisahan.
*
Tetapi aku tidak bisa menghalangi rindu yang selalu datang. Siapa yang mampu menghadang hujan? Ia akan selalu hadir, dengan atau tanpa kita kehendaki. Sama seperti rindu. Terkadang lama sekali ia hadir, tapi di lain waktu ia selalu hadir setiap hari, setiap malam. Persis, sama seperti rindu.

Kita bukanlah anak muda lagi, yang bercinta di kamar kost kita, dan tentu kita juga tak bisa lagi berpindah dari satu hotel ke hotel lain, hanya untuk bercinta, seperti yang sering kita lakukan dulu. Kita sudah berkeluarga manisku. Kau, begitu juga aku. Tetapi kita masih saja bertemu, bukankah cinta itu abadi? Dan keabsurdan pertemuan kita yang selalu kita inginkan, akan terus terjadi? Seperti yang pernah kuucapkan dulu, ketika kau begitu ragu untuk bertemu, walau kau juga merasakan rindu itu begitu tak tertahankan. Kau masih mencariku dan aku masih merindukannmu. Seperti remaja yang mencobai manisnya rasa perselingkuhan, dengan penuh gelora.

“ Kita tidak pernah berselingkuh manis, bukankah kita saling mencintai, dengan begitu dalam.”
“ Tapi kita punya keluarga, sayangku.”
“ Itu bukanlah masalahnya, manis. Kau jangan seperti kebanyakan orang donk. Ku kira kau sudah dewasa dan mengerti, seperti katamu. Aku tidak ingin menjelaskannya padamu. Nanti, kau juga tau sendiri.”

Dan aku tak dapat berbuat apa pun, apa lagi berkata-kata. Karena kau beitu bergelora, mengunci bibirku dengan lembut bibirmu yang begitu mempesona. Seperti sudah banyak tertulis, aku, laki-laki, menurut saja padamu, perempuanku.
*
Dan di sini. Dalam sebuah kamar dilantai 9 hotel berbintang, diatas sebuah kasur berwarna putih, yang berbalut selimut yang juga putih. Perempuan itu mengatakan lagi sebuah pertanyaan.

“ Tetapi, apakah kita benar-benar saling cinta, sayangku??”
“ Ah...........”, lelaki itu hanya mendesis.
“ Kenapa kau tak menjawab? Apakah kau tidak mencintaiku?”
“ Cinta adalah sebuah kata, manisku, hanya sebuah kata. Dan itu tak pernah berarti apa-apa. Seharusnya kau tau itu. Setidaknya ketika kau bertemu denganku. Atau dari keajaiban yang kau ilhat dalam hujan dengan pelanginya.”

Wanita itu bangkit dari tempat tidur, dan melangkah ke jendela, persis seperti sebuah adegan dalam cerpen Umar Kayam. Namun ia tidak memakai sehelai pakaian apa pun. Ia menatap keluar jendela, ke arah keramaian pusat kota ini.

“ Seperti biasa, kau selalu membuat teka-teki dalam setiap jawabanmu. Membuat aku harus selalu menatap matamu dan menatap lebih dalam untuk mengartikan isi hatimu. Dan itulah yang aku suka dari dirimu.”
“ Ah..........kau sangat tau aku mencintaimu.”
“ Cinta?????”

Wanita itu mendadak berubah, raut muka yang tadi kosong dan jiwa yang tadinya tenang, kini berubah menjadi emosi.

“ Lalu kenapa kau tak menikahiku waktu itu. Bukankah kita sudah lama pacaran, sudah sangat saling kenal. Tapi kenapa? Kau memilih dia menjadi istrimu, bukan aku.”

Lelaki itu menjawab dengan sangat tenang.

“ Rasanya, kau pasti tau jawabanku, karena kau juga menjalaninya.”
“ Menjalani apa??!!!?? Menikah, maksudmu?? Itu karena kau menikah dengan orang lain lebih dulu. Kau tak merasakannya, kesepian, kesendirian dan perasaan sangat membutuhkan teman. Kau tidak akan pernah bisa merasakannya, seperti yang aku rasakan! Atau jangan-jangan, kau lebih mencintai dia....????”
“ Sudahlah manisku, pernikahan itu tidak sama dengan cinta. Tidak sama seperti setiap pertemuan kita yang bergelora. Cinta itu venus, cinta itu kita, manis. Cinta tak perlu sebuah legitimasi apa pun, dalam bentuk lembaga apaupun. Atau kau butuh itu....kau membutuhkan sesuatu bentuk pengesahan. Tidak cukupkah ucapan, perlakuan aku yang menunjukkan seluruh cintaku ini...belum cukupkah?? Akh......kau selalu menyimpan ketidakpuasan manisku.....selalu saja ada ketidakpuasan dalam dirimu.....”

Wanita itu sudah siap untuk mengeluarkan seluruh sumpah serapahnya, namun mendadak terhenti oleh suara handphone.

“ Siapa?? Kok gak diangkat.....istrimu ya??”
“ Bukan.”
“ Lalu....”

Hening........

Lelaki itu sudah bangkit dari tempat tidur, mencuci muka, berpakaian dan membasahi rambutnya. Kemudian memakai sepatu.

“ Kok gak jawab.” Emosinya sudah reda, namun kejengkelannya belum.
“ Bukan, itu bukan suara telepon, itu suara alarm.....aku harus pulang.”
“ Ah....bohong. Lelaki selalu saja bisa mengelak dan pintar berbohong.” “ Jadi, kau tidak percaya padaku??”

Lelaki itu mendekat. Sangat dekat, wajah mereka hampir tak berjarak. Perlahan bibirnya sedikit terbuka, dia memiringkan kepalanya. Semakin mendekatkan bibirnya pada bibir wanita itu, yang juga sedikit terbuka. Kemudian wajah mereka benar-benar tak berjarak. Waktu seakan berhenti dan angin pun perlahan sekali berhembus. Cahaya matahari tak tampak menyeruak masuk, karena awan hitam bergerombol, membuat pekat langit.

“ Aku benar-benar harus pulang. Anakku ulang tahun. Dia kepingin di ajak jalan-jalan ke Dufan. Aku pergi dulu....”

Kata-katanya mengambang. Seiring dengan langkah lelaki itu menuju pintu, membukanya, menatap matanya dan menutup pintu, halilintar bergema dan hujan pun turun.

Sebetulnya, bukan kepergian lelaki itu yang membuat hatinya gundah, tetapi penantian akan kedatangan suaminya nanti siang. Ia tidak yakin suaminya akan datang. Jika ia tidak datang, berarti ini kali ketiga suaminya membatalkan acara ulang tahun perkawinan mereka yang pertama. Wanita itu menarik nafas, menghembuskannya dengan sekali hembusan. Tangannya terlipat di dadanya. Dia bersandar dekat jendela, memandang kosong keluar jendela, dan waktu menunjukkan pukul 7:30.

***

Bandung, Oktober 2005

This page is powered by Blogger. Isn't yours?